TENUN ikat adalah sebuah produk budaya yang menyebar hampir di semua daerah di Indonesia. Mulai dari tenun ikat Troso di Jepara, Jawa Tengah hingga kain gringsing dari Karangasem, Bali. Semua memiliki ciri khas masing-masing dari sisi motifnya. Kesamaan mereka ada pada teknik pembuatannya yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Nah, Kota Kediri juga memiliki pengrajin tenun ikat yang tersentral di Kelurahan Bandar Kidul. Lokasinya tak jauh dari alun-alun Kota Kediri atau hanya dibatasi oleh Sungai Brantas yang melintas di tengah. Kalau alun-alun berada di sebelah timur sungai, sentra tenun ikat Bandar Kidul berada di barat sungai, sekitar 1 kilometer kalau diukur jaraknya.
Ada sekitar 12 tempat usaha tenun di Bandar Kidul yang menghasilkan berbagai jenis kain antara lain sarung goyor, kain tenun sutra ataupun semi sutra, syal atau selendang, juga ada yang sudah dalam bentuk produk jadi seperti baju, seragam atau kebaya.
Berbagai motif kreasi pengrajin lokal menjadi ciri tenun ikat Bandar Kidul. Kebanyakan mengandalkan motif bunga dengan pewarnaan yang berani atau menampilkan warna-warna terang. Motif khas Kediri tersebut oleh pengrajin juga disebut motif ceplok atau lung.
KISAH tentang tenun ikat di Kota Kediri bermula dari seorang warga keturunan Tionghoa, Freddy Jie yang membuka usaha tenun di Jl Yos Soedarso atau saat ini dikenal sebagai daerah Pecinan.
Usaha yang dirintis sejak 1950-an oleh Freddy mengalami perkembangan pesat. Saat itu, usaha tenun ikat ini memiliki sekitar 200 alat tenun bukan mesin (ATBM) dan ratusan buruh tenun. Usaha tenun ini hanya memproduksi sarung dengan motif sederhana kotak-kotak.
Pada masa itu, masyarakat yang tinggal di barat sungai Brantas dikenal memiliki kehidupan ekonomi terbelakang atau miskin. Rata-rata buruh tenun ikat milik Freddy berasal dari daerah sekitar Desa Bandar Kidul, Banjar Mlati, Waung dan Bandar Lor yang kesemuanya berada di barat sungai dan berada di wilayah Kecamatan Mojoroto.
Prahara 1965 tidak berpihak pada Freddy, karena saat itu etnies Tionghoa termasuk dalam kelompok yang tersingkir pasca peristiwa 30 September 1965. Usaha tenun ikat Freddy Jie tutup, dan karyawannya dirumahkan. Selain usaha tenun ikat Freddy Jie, semua jenis bidang usaha yang dikelola etnies Tionghoa juga mendapatkan tekanan serupa.
1965 adalah masa-masa suram bagi industry tenun ikat Kediri, para pekerja menganggur karena tutupnya tempat usaha Freddy. Ada beberapa karyawan yang merintis usaha tenun ikat, namun kondisi ekonomi membuat bahan baku sulit di dapat. Pada akhir 1965 praktis industri rumahan tenun ikat di Kota Kediri berada di titik nadir.
PEMBANTAIAN pada mereka yang dicap komunis membuat permintaan sarung melonjak pada 1966. “Sarung menjadi ciri khas santri, masyarakat berlomba-lomba memakai sarung berharap agar tidak ikut dibantai,” begitu keterangan Siti Ruqayah. Sejak itulah, para mantan buruh tenun Freddy Jie akhirnya banyak yang mendirikan usahanya tenun ikatnya sendiri.
Belasan tahun kemudian, puluhan industri rumahan sudah berdiri mapan dengan rata-rata setiap industri tenun memiliki 100 – 200 alat tenun bukan mesin (ATBM).
Merek-merek terkenal seperti Kodok Ngorek, Sarung KB hingga Tenun Barokah bermunculan dan meraih hati pelanggan setia. Sebagian besar industry ini berada di wilayah Kelurahan Bandar Kidul, sebagian lagi menyebar tapi tetap berada di wilayah Barat sungai Brantas.
Kejayaan tenun ikat Kediri mulai surut pada sekitar tahun 1985-an. Kebijakan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto kala itu yang mengimpor mesin tenun modern yang memproduksi sarung kotak-kotak membuat harganya menjadi murah.
Tenun ikat produksi perajin manual kalah bersaing dipasaran. Periode itu membuat kolaps banyak pengrajin, hanya beberapa yang masih bertahan, sebagian besar lebih memilih menutup usaha karena terus merugi.
Lalu muncullah generasi pengrajin baru di media awal 1990-an. Ini adalah periode saat Medali Emas mulai dirintis oleh Munawar. Karena alat tenun modern hanya bisa membuat kain motif kotak-kotak, para pengrajin tenun ikat di Kediri akhirnya memutuskan membuat hal yang menjadi pembeda antara produknya dengan sarung buatan pabrik, dengan membuat motif-motif baru yang terinpirasi bunga-bungaan.
Sejak saat itulah, pelan-pelan tenun ikat Bandar Kidul mulai mendapatkan celah pasarnya kembali. Medali Emas juga mengalami pasang surut. Sempat kolaps pada krisis 1998, tahun 2000 Medali Emas bangkit dan hingga saat ini telah memiliki 43 ATBM dengan 85 tenaga kerja.
ADA minimal 14 tahap dalam proses pembuatan selembar kain tenun ikat. Semua tahapan tersebut tidak dilakukan dengan mesin, tapi oleh tangan-tangan pekerja dengan proses manual. “Tahap pertama memberikan warna dasar pada benang,” kata Siti Ruqayah, pemilik tenun ikat Medali Emas..
Seusai pewarnaan, benang yang kusut karena proses pencelupan diurai dalam proses pemintalan. Lalu benang-benang yang sudah lurus ditempatkan dalam kerangka kayu untuk kemudian diwarnai, sesuai dengan motifnya. Nah dalam proses pewarnaan ini kemudian benang-benang tersebut diikat.
Setelah selesai memberikan motif, kemudian masuk dalam proses pewarnaan kedua. Proses ini disusul dengan penjemuran untuk memperkuat warna. Setelah semuanya dilalui, tahap terakhir adalah masuk dalam mesin tenun. Di sinilah proses yang memakan waktu cukup lama.
“Proses yang lama dan manual inilah yang membuat tenun tidak bisa dijual murah, nama tenun ikat berasal dari tahap mengikat benang dan proses pemberian motifnya,” Siti Ruqayah memberikan penjelasan. Siti juga mengeluh, susahnya mencari pekerja usia produktif yang mau menekuni proses pembuatan kain tenun. (Arief Priyono)