Sejarah tenun ikat di Kediri diawali oleh warga keturunan Thionghoa 1950. Kini, pengrajin tenun ikat tersentral di Bandar Kidul.
TENUN ikat adalah sebuah produk budaya yang menyebar
hampir di semua daerah di Indonesia. Mulai dari tenun ikat Troso di
Jepara, Jawa Tengah hingga kain gringsing dari Karangasem, Bali. Semua
memiliki ciri khas masing-masing dari sisi motifnya. Kesamaan mereka ada
pada teknik pembuatannya yang menggunakan alat tenun bukan mesin
(ATBM).
Nah, Kota Kediri juga memiliki pengrajin tenun ikat yang
tersentral di Kelurahan Bandar Kidul. Lokasinya tak jauh dari alun-alun
Kota Kediri atau hanya dibatasi oleh Sungai Brantas yang melintas di
tengah. Kalau alun-alun berada di sebelah timur sungai, sentra tenun
ikat Bandar Kidul berada di barat sungai, sekitar 1 kilometer kalau
diukur jaraknya.
Ada sekitar 12 tempat usaha tenun di Bandar Kidul yang menghasilkan
berbagai jenis kain antara lain sarung goyor, kain tenun sutra ataupun
semi sutra, syal atau selendang, juga ada yang sudah dalam bentuk produk
jadi seperti baju, seragam atau kebaya.
Berbagai motif kreasi pengrajin lokal menjadi ciri tenun ikat Bandar
Kidul. Kebanyakan mengandalkan motif bunga dengan pewarnaan yang berani
atau menampilkan warna-warna terang. Motif khas Kediri tersebut oleh
pengrajin juga disebut motif ceplok atau lung.
KISAH
tentang tenun ikat di Kota Kediri bermula dari seorang warga keturunan
Tionghoa, Freddy Jie yang membuka usaha tenun di Jl Yos Soedarso atau
saat ini dikenal sebagai daerah Pecinan.
Usaha yang dirintis sejak 1950-an oleh Freddy mengalami perkembangan
pesat. Saat itu, usaha tenun ikat ini memiliki sekitar 200 alat tenun
bukan mesin (ATBM) dan ratusan buruh tenun. Usaha tenun ini hanya
memproduksi sarung dengan motif sederhana kotak-kotak.
Pada masa itu, masyarakat yang tinggal di barat sungai Brantas
dikenal memiliki kehidupan ekonomi terbelakang atau miskin. Rata-rata
buruh tenun ikat milik Freddy berasal dari daerah sekitar Desa Bandar
Kidul, Banjar Mlati, Waung dan Bandar Lor yang kesemuanya berada di
barat sungai dan berada di wilayah Kecamatan Mojoroto.
Prahara 1965 tidak berpihak pada Freddy, karena saat itu etnies
Tionghoa termasuk dalam kelompok yang tersingkir pasca peristiwa 30
September 1965. Usaha tenun ikat Freddy Jie tutup, dan karyawannya
dirumahkan. Selain usaha tenun ikat Freddy Jie, semua jenis bidang usaha
yang dikelola etnies Tionghoa juga mendapatkan tekanan serupa.
1965 adalah masa-masa suram bagi industry tenun ikat Kediri, para
pekerja menganggur karena tutupnya tempat usaha Freddy. Ada beberapa
karyawan yang merintis usaha tenun ikat, namun kondisi ekonomi membuat
bahan baku sulit di dapat. Pada akhir 1965 praktis industri rumahan
tenun ikat di Kota Kediri berada di titik nadir.
PEMBANTAIAN pada mereka yang dicap komunis membuat
permintaan sarung melonjak pada 1966. “Sarung menjadi ciri khas santri,
masyarakat berlomba-lomba memakai sarung berharap agar tidak ikut
dibantai,” begitu keterangan Siti Ruqayah. Sejak itulah, para mantan
buruh tenun Freddy Jie akhirnya banyak yang mendirikan usahanya tenun
ikatnya sendiri.
Belasan tahun kemudian, puluhan industri rumahan sudah berdiri mapan
dengan rata-rata setiap industri tenun memiliki 100 – 200 alat tenun
bukan mesin (ATBM).
Merek-merek terkenal seperti Kodok Ngorek, Sarung KB hingga Tenun
Barokah bermunculan dan meraih hati pelanggan setia. Sebagian besar
industry ini berada di wilayah Kelurahan Bandar Kidul, sebagian lagi
menyebar tapi tetap berada di wilayah Barat sungai Brantas.
Kejayaan tenun ikat Kediri mulai surut pada sekitar tahun 1985-an.
Kebijakan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto kala itu yang mengimpor
mesin tenun modern yang memproduksi sarung kotak-kotak membuat harganya
menjadi murah.
Tenun ikat produksi perajin manual kalah bersaing dipasaran. Periode
itu membuat kolaps banyak pengrajin, hanya beberapa yang masih bertahan,
sebagian besar lebih memilih menutup usaha karena terus merugi.
Lalu muncullah generasi pengrajin baru di media awal 1990-an. Ini
adalah periode saat Medali Emas mulai dirintis oleh Munawar. Karena alat
tenun modern hanya bisa membuat kain motif kotak-kotak, para pengrajin
tenun ikat di Kediri akhirnya memutuskan membuat hal yang menjadi
pembeda antara produknya dengan sarung buatan pabrik, dengan membuat
motif-motif baru yang terinpirasi bunga-bungaan.
Sejak saat itulah, pelan-pelan tenun ikat Bandar Kidul mulai
mendapatkan celah pasarnya kembali. Medali Emas juga mengalami pasang
surut. Sempat kolaps pada krisis 1998, tahun 2000 Medali Emas bangkit
dan hingga saat ini telah memiliki 43 ATBM dengan 85 tenaga kerja.
ADA
minimal 14 tahap dalam proses pembuatan selembar kain tenun ikat. Semua
tahapan tersebut tidak dilakukan dengan mesin, tapi oleh tangan-tangan
pekerja dengan proses manual. “Tahap pertama memberikan warna dasar pada
benang,” kata Siti Ruqayah, pemilik tenun ikat Medali Emas..
Seusai pewarnaan, benang yang kusut karena proses pencelupan diurai
dalam proses pemintalan. Lalu benang-benang yang sudah lurus ditempatkan
dalam kerangka kayu untuk kemudian diwarnai, sesuai dengan motifnya.
Nah dalam proses pewarnaan ini kemudian benang-benang tersebut diikat.
Setelah selesai memberikan motif, kemudian masuk dalam proses
pewarnaan kedua. Proses ini disusul dengan penjemuran untuk memperkuat
warna. Setelah semuanya dilalui, tahap terakhir adalah masuk dalam mesin
tenun. Di sinilah proses yang memakan waktu cukup lama.
“Proses yang lama dan manual inilah yang membuat tenun tidak bisa
dijual murah, nama tenun ikat berasal dari tahap mengikat benang dan
proses pemberian motifnya,” Siti Ruqayah memberikan penjelasan. Siti
juga mengeluh, susahnya mencari pekerja usia produktif yang mau menekuni
proses pembuatan kain tenun.
(Arief Priyono)